Pemilik
Bumi Awan
( Biografi Singkat Rohman Hikmat )
Seuntai
tangis rindu mengeja setiap lelehan air mata yang basah, bukan terkira air mata
yang mulai kering di pipi, namun ingatan yang membelenggu bukannya menjadi
angkara murka, melainkan menjadi belaIan sedih yang meledak.Sementara saja
tangis yang tak bisa mereda, tangis bengis mengais gerimis tipis telah hilang
di antara lembaran bumi yang berkaca.Aku kembali merangkai huruf demi huruf
merangkai narasi yang bahagIa, bukan karena aku atau kamu, tapi karena
keinginan bersama yang mulai kulumat demi kemakmuran umat dan bangsa.
Gema tangis tedengar sangat bengis di
antara rangkaian malam yang tak henti menancapkan bintang, di antara
tumpukan-tumpukan ranjang kasur terdengar tangis dengan desir hati yang mengekang
jiwa. Suasana hening memang menciptakan kesedihan yang bengis dan meluapkan
amarah yang terarah.
Namanya Rohman Hikmat, terkenal sebagai
penangis yang bengis di Asrama Bina Siswa SMA Plus Cisarua, tempat yang
seharusnya menjadi penikmat calon petinggi konglomerat namun meninggalkan luka
yang berkarat. Mengeja ilmu di bumi awan tepatnya Cisarua, Kab. Bandung Barat
bukan hal yang mudah untuknya karena Dia terbentang jauh dari kota
kelahirannya. Dia dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 15 Oktober 1999, sekarang
Dia berusia 17 tahun. Bukan hal yang mudah untuknya mengais usia dewasa tanpa
bimbingan dan kasih sayang orang tua secara langsung. Jarak memisahkan dirinya
bersama orang tuanya meski untuk kemajuan dirinya di masa depan.
Sejak menempuh jenjang pendidikan
Sekolah Dasar di SDN Selagombong, Rohman tak pernah jauh dari orang tuanya.
Kedua orang tuanya selalu menjadi motivasi penyemangat yang memancar dalam
hidupnya, bahkan Rohman sering menjadi juara kesatu di kelasnya karena semangat
orang tuanya tak pernah beku dalam balutan kasih sayangnya. Dunia seakan selalu
putih dalam kasih yang terpilih rapih oleh Tuhan untuknya, orang tuanya yang
selalu mencipta bahagia meski raga serasa tak layak menerima. Masa kecil yang
sungguh indah dikenang untuknya, namun tidak untuk sekarang, Ia mengatakan
tidak semenjak Ia menginjakkan kakinya di Asrama Bina Siswa. Rohman merasa
ingatan yang lajang semasa kecilnya membuka tangis yang bengis, rindu yang
membelenggu menjadi murka yang menerka. Kini masa kecilnya hanya kenangan
belaka, masa lalu yang runtuh, bukan karena orang lain, namun karena pilihannya
yang tak pernah Ia anggap sebagai pilihan yang tepat.
Terbenam sudah masa Sekolah Dasar yang
membuatnya semakin sakit, Rohman merasa pikirannya mulai membuka kembali lembaran
masa lalunya. Setelah selesai menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN
Selagombong. Rohman melanjutkan sekolahnya ke SMPN 4 Cibadak, disana Rohman
mulai melumat kembali kenangan yang indah. Masa-masa orientasi yang sangat
menyenangkan, tertawa bersama teman baru yang tak pernah tercipta kesenjangan,
bahkan episode baru yang sangat menyenangkan serasa diciptakan Tuhan. Namun
berbeda dengan satu nama yang mengejutkan jiwa, membuat nadinya berhenti
sejenak dalam hitungan detik, dan napas serasa sesak dalam beberapa saat. Nama
tersebut adalah MOSA, hal yang sangat menggetirkan jiwa saat menyentuh daun
telinga, tak seindah episode baru di Sekolah Menengah Pertama namun sekejam
permata yang menusuk tajam kulit yang luka.
Teringat masa-masa bersama keluarganya
di rumah, Rohman terlahir dari keluarga yang sederhana namun selalu mencurahkan
semua kasih sayangnya yang tak terkira menjadikan Rohman sangat sulit menerima
kenyataan bahwa Dia saat ini jauh dari kedua orang tuanya. Tak terhitung jari
berapa kali Dia telah menangis dalam belaian bintang yang tak pernah
berguguran, semuanya berawal dari kekecewaan yang mendalam saat Ia pertama kali
menjadi siswa di Asrama Bina Siswa, awalnya kebahagiaan yang menyapa dalam
degup jantung yang bernyawa, dengan ridha orang tuanya Dia menjelajah
pendidikan SMA di Bandung tepatnya SMA Negeri 1 Cisarua, namun kebahagiaannya
seketika lenyap saat Ia bertemu dengan yang namanya MOSA ( Masa Orientasi Siswa
Asrama).
MOSA adalah sejenis orientasi atau
pengenalan lingkungan asrama untuk siswa baru, MOSA yang Rohman jalani dengan
hati yang begemuruh ricuh, dendam yang mendalam, emosi yang harus terkontrol
karena ketakutan.8 Juli 2014 menjadikan pengalaman terburuk semasa
hidupnya.Meski MOSA hanya terhitung hari atau lebih tepatnya tiga hari namun
serasa dunia berputar sangat lambat, waktu terasa begitu enggan memutar detik
menjadi menit dan menit menjadi jam. Kepala botak yang ditanam di lapangan
dengan matahari tepat memuncak di atas kepala terasa sangat panas sekali, andai
Rohman saat itu dihidangkan dengan kolam renang, Ia akan langsung nyebur ke dalamnya.
Tiga hari menjadi awal mula
kesedihannya, tangis yang beredar di atas perputaran bintang selalu meghIasi
malamnya di asrama, meski Ia tak perlu lagi sulit mencari air untuk mandi,
rambut yang mulai tumbuh. Namun suasana MOSA masih menancap tajam pada dirinya,
bahkan menciptakan luka yang berkarat. Ia sempat menuliskan paragraf puisi
bahwa Dia ingin pergi dari Asrama di sela-sela waktu belajar malamnya.
Aku Masih
Tak Percaya
Mendekap bulan yang fasih becerita, bintang yang mengeja setIap
ukiran langit malam, terlihat jelas di sela malamku saat ini. Kuintip dari
jendela, sangat indah terlihat, Namun tidak dengan hatiku. hatiku teriris
tangis mengais bengis.
Kenangan yang berkarat, rindu yang menggebu selalu menghantu.Aku
ingin pergi saja dari kekejaman tempat calon pencari ilmu.
Kawah candra di muka mengekang hatiku.Kalau bisa, aku ingin
mengeja mentari pagi, menginggalkan kalIan semua teman angkatanku. Walau kalIan
mungkin sakit, adanya aku disini lebih sakit.
Namun aku tak bisa dengan keterbatasan.Tuhan, beri aku jalan agar
tetap bertahan, menahan kejamnya malam yang mencekam.
Awalnya Rohman masih tak percaya dengan
keadaannya saat ini, Ia kira masih ada sapaan hangat dari orang tuanya setiap Ia
bangun dari lelapnya tidur. Namun itu hanya mimpinya yang selalu tak akan
pernah tercipta. Ia masih sendiri, tenggelam dalam sepi yang memagut dirinya.
Padahal teman seangkatannya banyak, namun Ia tak mudah untuk mendapatkan teman
baiknya. Mungkin karena Dia masih merasakan sakit hati dari MOSA yang telah
menimpanya. Keadaanya semakin terpuruk buruk, keegoisan dirinya menjadikan Iasering sakit. Tak terhitung berapa teman yang telah Ia
buat sakit hati atas tingkahnya, karena dirinya yang tak pernah menganggap
mereka teman.
Sukabumi selalu menghantui pikirannya
selama ini, kenangan indah bersama keluarganya tak mungkin bisa terlepas begitu
saja. Ia selalu mengingat dengan benar alamat rumah keluarganya yaitu di
kampung Cicadas, Kec. Cibadak. Ia sebenarnya ingin memulai hidup di Asrama
dengan baik dan taat pada peraturan, namun hatinya selalu menolak dengan kejam,
jiwanya seakan mengalir untuk melanggar dan kabur dari Asrama. Sungguh Ia akan
menjadikan Asrama sebagai kenangan terburuknya selama masa hidupnya. Jl.
Kolonel Masturi No.64 Kec. Cisarua Kab. Bandung Barat, tempat dimana Ia hidup,
tempat dimana Ia dibina di Asrama Bina Siswa selalu mengekang hidupnya, hatinya
menjerit selama Ia mendengar tempat dan alamat tersebut melewati gendang
telinganya.
Malam berganti pagi, bumi berputar
seiring waktu yang menjalankanya, tak terasa sebulan telah Rohman lewati
menjalani hidup di Asrama Bina Siswa meski dengan segala keterbatasan yang Ia
miliki, hati yang rapuh namun jiwanya tetap kuat seperti baja yang tajam. Bukan
karena dirinya sendiri namun karena rayuan elok dari teman seangkatannya.
Awalnya Ia berencana untuk memundurkan diri dari Asrama Bina Siswa, namun
teman-temannya melarang. Mereka langsung mengunjungi Rohman di kamar sakitnya.
Mereka mengatakan bahwa Ia tidak sendiri, teman-temannya itu bukan sekedar
teman, mereka adalah keluarganya. Mereka tak mau kehilangan Rohman yang telah
mereka anggap sebagai keluarganya sendiri, mereka pula tak ingin kehilangan
separuh jiwanya saat Rohman pergi.Mereka mengatakan bahwa mereka satu, satu
sakit maka semua sakit.
Semenjak kejadian itu, Rohman mulai
terbuka dengan teman-temannya.Ia mulai bercerita masalah hidupnya. Rohman
berjanji bahwa Diaakan menghapus kata memundurkan diri dari lembaran kamus kata
di pikirannya. Meski perubahannya tidak signifkan, namun teman-temannya tek
lelah memberinya semangat. Rohman mulai memiliki sahabat baik yang sering Ia
jadikan sebagai tempatnya berlindung atas segala masalahnya. Namanya Anton
Nugroho, Dia adalah sahabat Rohman yang sangat baik sehingga membuatnya masih
dapat bertahan. Sebenarnya tak hanya Anton ada beberapa teman lain yang
membuatnya semangat namun tak melebihi Anton baiknya.
Bulan mulai fasih lagi menampakan
wujud indahnya di antara hamparan langit malam namun tak lagi sekelam hati
Rohman.Ia sudah mulai berubah menjadi lebih dewasa, dengan semangat dan
dukungan dari teman seangkatannya Ia mulai merubah semua kebiasaan masa
lalunya. Sifat egois sudah menjadi musuh yang Ia murkai, Ia sekarang lebih
bahagia menjalani hidupnya di asrama dengan penuh kebersamaan, tak ada langi
tangis yang bengis menghIasi malam-malam di asrama. Namun julukan penangis yang
bengis tak pernah hilang dari dirinya. Hal itu tak menyebabkan dirinya sebal
ataupun marah melainkan mengingatkan dirinya bahwa Ia tercipta karena luka,
perjuangan yang sakit dan perih, serta kemurahan dan kesetiaan teman-temannya Ia
bisa merasakan nikmatnya hidup walau jauh dari kasih sayang orang tuanya.
Setahun Dia telah berhasil melewati
masa kelamnya di Asrama, rasa rindu pada orang tuanya yang menjejak dalam
pijakan memorinya kini mulai sirna, bukan sirna dalam artian Ia melupakan,
namun sirna karena Ia telah rela dan ikhlas demi tujuan dan cita-citanya.
Rohman mulai bisa berubah akan pola pikirnya. Dirinya menjadi mentari dengan
keelokan yang selalu Ia cipta di setiap pagi, Dia menjadi embun hangat yang tak
pernah hilang dalam daun tempat Ia hinggap. Kini Rohman mulai menikmati masa
hidup di asrama meski perjuangan menyisakan keringat yang menyengat.
Dari perubahan sikapnya tersebut,
Rohman berhasil menggenggam bumi awan yang Ia pijak, tiada lain tiada bukan
adalah tempatnya mengeja Ilmu yaitu Asrama Bina Siswa dan SMA Negeri 1 Cisarua.
Puisinya yang berjudul Bioritme Edelweiss
berhasil masuk masuk dalam sebuah buku “Antologi Puisi Favorit, Sekaleng Bir
Dan Segelas Air mata” yang
diterbitkab oleh Sabana Pustaka.
Rohman
tak lagi tidak besemangat dan mengeluh menjalani kehidupan di Asrama Bina
Siswa, Dia berhasil melewati masa-masa kelam yang hampir membuatnya terjerat
dalam sebuah alunan nada hitam yang mencekam. Dia semakin mengerti makna sebuah
kehidupan, Dia yakin bahwa Dia bisa melewati semua tantangan hidupnya, Dia
percaya bahwa suatu saat Dia akan menggenggam dunia karena Dia telah berhasil
menaklukan kejamnya Bumi Awan Asrama Bina Siswa, tak lagi Dia takut dengan
kekejaman dunia yang hinggap di depan matanya.
Senja kini telah merebut langit dari
getaran matahari, Rohman telah menjadi dirinya yang dewasa, pikiran yang
terbuka tentang kemandirian, rasa yang menjadikan diri mengerti tentang
kebersamaan, dan hidup yang bukan sekedar hidup, namun hidup yang bermanfaat
untuk orang di sekitarnya. MOSA memang memberikan kenangan buruk baginya. Namun
Rohman bertekad untuk memakan kenangan MOSA menjadi awal mula kehidupan yang
layaknya manusia yang berguna.
Rohman selalu berpikir bahwa panitia
MOSA yang selama ini menghantui pikirannya sehingga tak mampu mencairkan
dendamnya yang terlanjur beku, karena tiga hari bersama mereka membukakan mata
Rohman bahwa mereka tengah menjelma menjadi kutukan iblis saat menjadi panitia MOSA. Namun semenjak Ia
merasakan sendiri menjadi panitia MOSA pada 22 Juli 2015, dia menghapus semua
pikiran kotor yang telah terjerat tak bisa dilepas dalam pikirannya.
Menjadi
panitia MOSA 2015 ternyata tak semudah yang Rohman pikirkan, Rohman sibuk
dengan kepanitiaannya. Bahkan Rohman pikir menjadi panitia MOSA tak seindah
manusia yang hanya mengkritik tajam, Rohman sibuk dalam setiap keadaan, dari
mulai mempersiapakan acara apa yang akan dilaksanakan dan mempersiapkan pula
kegiatan yang berikutnya akan dilaksanakan.
Setelah menjadi panitia MOSA, Rohman
baru sadar akan perasangka buruk yang telah ia lakukan pada panitia MOSA tahun
lalu. Rohman baru mengerti tujuan mereka membentak, tujuan mereka menyuruh
peserta agar melakukan sesuatu dengan cepat. Hal tersebut banyak sekali
hubungannya dengan sikap kedewasaan yang patut kita miliki, khususnya yang
sedang mengenyam pendidikan di SMA. Sikap tanggung jawab, disiplin, kompak, dan
taat terhadap aturan adalah hal yang tak bisa didapatkan di sekolah. Namun
pelajaran hidup ini dapat Rohman rasakan di tempat tinggalnya saat ini, tiada
lain adalah Asrama Bina Siswa. Tempatnya mengeja makna hidup dan melewati
samudera keringat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar