Minggu, 22 Oktober 2017

Tentang Sebuah Perasaan yang Terbenam dalam Hujan



Langkahku mulai gusar pada perputaran arah yang mulai bergetar, hujan tidak lagi meminta rintiknya untuk angkuh pada bongkahan peluh. Tubuhku kaku, tak dapat berjalan menyusuri jalan setapak yang tak lagi berwarna. Jalan itu merupakan jalan patah hati, setiap aku melewati jalan tersebut ada kenangan yang singgah di dada dan membuat pengap jalur pernapasan.

Hanya kesedihan yang hidup menelusuri jalan, menapaki setiap bayangan yang enggan untuk menguap menjadi awan. Beginilah hidupku dalam kesendirian, tanpa senyum atau pun kebahagiaan, hanya sebingkai sedih yang tak pernah menjadi air mata. Kehidupan ini jauh hanya sekedar drama. Dimana aku bisa berkamuflase menjadi orang paling periang di kampus, bahkan menjadi seseorang yang kekanak-kanakan dan hidup tanpa beban.

Musim sudah bertahun menjadi analogi yang indah untuk dinikmati. Kemarau tak ada alasan untukku menampakan rasa, kemarau menjadi masalah yang kuat dan tak bisa kuungkap. Kemarau adalah benih-benih kepedihan yang kubiarkan tumbuh subur di dalam hati. Seperti tanah yang retak dimakan terik matahari, perasaanku retak dan tak bisa utuh. Melupakan perasaan yang tumbuh subur di dalam hati namun tak bisa kuungkap lewat lisan dan tindakan adalah hal yang tersulit.

Aku terbiasa hidup dalam kesendirian. Menggores sejarah hidup dalam sepi dan sunyi. Keceriaan bukanlah suatu alasan untuk pergi menanggalkan hidup dalam keteduhan hati. Biarlah semua kesakitan ini menjadi cerita indah yang dirasakan oleh semua orang. Biarlah semua yang ditakdirkan Tuhan menjadi hal terindah yang aku lakukan.

Bagaimana rasanya melupakan perasaan sedangkan dalam lubuk terdalam masih memikirkan. Pahit dan otak berputar mencari kebahagiaan untuk melupakan. Membuat kebahagiaan adalah alasan untuk meninggalkan kesedihan. Seseorang di masa lalu yang tak pernah terlupakan meski seberapa besar usaha untuk melupakan. Karena di lubuk hati yang paling dalam, cinta itu masih ada dan mendekap di dasar yang tak lagi diguar saat perasaan itu muncul.

Aku yang mengemban sunyi, bukan kamu. Aku yang hidup dalam topeng terlalu pintar menyembunyikan apa yang kurasakan. Satu hal yang kusimpan dalam-dalam, aku pernah belajar melupakan seseorang yang dulunya pernah kucintai, namun tak pernah ingin kulepaskan. Aku belajar, bahwa dengan sendiri aku bisa hidup lebih bahagia.

Belajar menerima kenyataan adalah hal yang kulakukan sekarang. Menerima bahwa hidup tak seindah film sinetron atau dram FTV, bahwa hidup harus belajar ikhlas. Aku hanya lelaki penyuka hujan, aku memang selalu menampakan diri sebagai seseorang yang penuh kebahagiaan dan keceriaan. Namun aku selalu bahagia menangis dengan hujan, mengenang kenangan dengan hujan, aku mencintai hujan sepenuhnya.

Aku adalah hujan dengan usaha melupakan, berusaha untuk terus melupakan setiap inci pengalaman, setiap memori dari kenangan menyakitkan. Aku adalah memori yang terlupakan, aku baru mengingatnya saat rintik hujan membasahi tubuh. Aku menari bersama hujan, aku menangis dengan hujan. Hujan bisa menutupi air mataku, aku bahagia bertemu dengan hujan. Hanya hujan sahabatku, tempat berbagi duka dan cerita. Hujan adalah alasan kenapa aku tidak merasa sendiri, hujan membawa duniaku pergi. Hujan, itulah alasan kenapa aku menutup diri dan aku tidak berbagi cerita. Untuk saat ini, belum ada yang menggantikan posisi hujan dalam hidupku.

Jika hujan menjelma menjadi manusia, entah siapakah itu. Yang pasti untuk saat ini dan perjalanan hidup yang berkepanjangan, aku belum menemukan siapa jelmaan hujan. Temukan aku jika kamu mengerti tentang kondisi. Aku hanya mencintai apa yang bisa mengerti, karena kamu yang ingin kutemui adalah hujan yang selalu paham dengan kondisi. Aku senyum, aku bahagia, bukan berarti aku hidup dengan rasa cinta, hati kecilku selalu bercerita bahwa dalam kondisi yang mendasar di hatiku aku butuh seseorang yang mengerti, paham, untuk berbagi cerita dalam banyak situasi. Aku butuh seseorang yang bukan hujan.