Langkahku mulai gusar pada perputaran arah yang mulai
bergetar, hujan tidak lagi meminta rintiknya untuk angkuh pada bongkahan peluh.
Tubuhku kaku, tak dapat berjalan menyusuri jalan setapak yang tak lagi
berwarna. Jalan itu merupakan jalan patah hati, setiap aku melewati jalan
tersebut ada kenangan yang singgah di dada dan membuat pengap jalur pernapasan.
Hanya kesedihan yang hidup menelusuri jalan, menapaki setiap
bayangan yang enggan untuk menguap menjadi awan. Beginilah hidupku dalam
kesendirian, tanpa senyum atau pun kebahagiaan, hanya sebingkai sedih yang tak
pernah menjadi air mata. Kehidupan ini jauh hanya sekedar drama. Dimana aku
bisa berkamuflase menjadi orang paling periang di kampus, bahkan menjadi
seseorang yang kekanak-kanakan dan hidup tanpa beban.
Musim sudah bertahun menjadi analogi yang indah untuk
dinikmati. Kemarau tak ada alasan untukku menampakan rasa, kemarau menjadi
masalah yang kuat dan tak bisa kuungkap. Kemarau adalah benih-benih kepedihan
yang kubiarkan tumbuh subur di dalam hati. Seperti tanah yang retak dimakan
terik matahari, perasaanku retak dan tak bisa utuh. Melupakan perasaan yang
tumbuh subur di dalam hati namun tak bisa kuungkap lewat lisan dan tindakan
adalah hal yang tersulit.
Aku terbiasa hidup dalam kesendirian. Menggores sejarah
hidup dalam sepi dan sunyi. Keceriaan bukanlah suatu alasan untuk pergi
menanggalkan hidup dalam keteduhan hati. Biarlah semua kesakitan ini menjadi
cerita indah yang dirasakan oleh semua orang. Biarlah semua yang ditakdirkan
Tuhan menjadi hal terindah yang aku lakukan.
Bagaimana rasanya melupakan perasaan sedangkan dalam lubuk
terdalam masih memikirkan. Pahit dan otak berputar mencari kebahagiaan untuk
melupakan. Membuat kebahagiaan adalah alasan untuk meninggalkan kesedihan. Seseorang
di masa lalu yang tak pernah terlupakan meski seberapa besar usaha untuk
melupakan. Karena di lubuk hati yang paling dalam, cinta itu masih ada dan
mendekap di dasar yang tak lagi diguar saat perasaan itu muncul.
Aku yang mengemban sunyi, bukan kamu. Aku yang hidup dalam
topeng terlalu pintar menyembunyikan apa yang kurasakan. Satu hal yang kusimpan
dalam-dalam, aku pernah belajar melupakan seseorang yang dulunya pernah
kucintai, namun tak pernah ingin kulepaskan. Aku belajar, bahwa dengan sendiri
aku bisa hidup lebih bahagia.
Belajar menerima kenyataan adalah hal yang kulakukan
sekarang. Menerima bahwa hidup tak seindah film sinetron atau dram FTV, bahwa
hidup harus belajar ikhlas. Aku hanya lelaki penyuka hujan, aku memang selalu
menampakan diri sebagai seseorang yang penuh kebahagiaan dan keceriaan. Namun aku
selalu bahagia menangis dengan hujan, mengenang kenangan dengan hujan, aku
mencintai hujan sepenuhnya.
Aku adalah hujan dengan usaha melupakan, berusaha untuk
terus melupakan setiap inci pengalaman, setiap memori dari kenangan
menyakitkan. Aku adalah memori yang terlupakan, aku baru mengingatnya saat
rintik hujan membasahi tubuh. Aku menari bersama hujan, aku menangis dengan
hujan. Hujan bisa menutupi air mataku, aku bahagia bertemu dengan hujan. Hanya hujan
sahabatku, tempat berbagi duka dan cerita. Hujan adalah alasan kenapa aku tidak
merasa sendiri, hujan membawa duniaku pergi. Hujan, itulah alasan kenapa aku
menutup diri dan aku tidak berbagi cerita. Untuk saat ini, belum ada yang
menggantikan posisi hujan dalam hidupku.
Jika hujan menjelma menjadi manusia, entah siapakah itu. Yang
pasti untuk saat ini dan perjalanan hidup yang berkepanjangan, aku belum
menemukan siapa jelmaan hujan. Temukan aku jika kamu mengerti tentang kondisi. Aku
hanya mencintai apa yang bisa mengerti, karena kamu yang ingin kutemui adalah
hujan yang selalu paham dengan kondisi. Aku senyum, aku bahagia, bukan berarti
aku hidup dengan rasa cinta, hati kecilku selalu bercerita bahwa dalam kondisi
yang mendasar di hatiku aku butuh seseorang yang mengerti, paham, untuk berbagi
cerita dalam banyak situasi. Aku butuh seseorang yang bukan hujan.